Jalur Pendakian Terpanjang di Pulau Jawa:
Sebelum mengikuti catatan perjalanan saya, ada baiknya saya berikan kata-kata pembuka dulu mengenai Gunung Argapura atau yang lebih populer dengan sebutan Argopuro. Gunung Argopuro ini terletak di Jawa Timur dan berada dalam wilayah Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Bondowoso. Gunung ini juga termasuk bagian dari Pegunungan Hyang, sehingga kompleks ini sering disebut Hyang-Argopuro.
Di antaramata para petualang dan penjelajah alam di Indonesia, Gunung Argopuro terkenal dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Namun lebih dari itu, banyak hal yang menjadi daya tarik dari gunung ini. Di antaranya adalah sabana-sabananya yang menawarkan keindahan luar biasa. Salah satu sabananya, yaitu Cikasur bahkan pernah menjadi pangkalan udara tertinggi di Indonesia dan menjadi habitat burung merak. Selain itu, tepat di salah satu puncaknya yaitu puncak Rengganis terdapat peninggalan bangunan bersejarah seperti istana yang sampai saat ini masih menyimpan banyak misteri. Selain itu juga terdapat Danau Taman Hidup yang sudah menjadi salah satu obyek wisata. Untuk mendaki Gunung Argopuro terdapat dua jalur yang terkenal yaitu Jalur Bremi, Probolinggo dan Jalur Baderan, Situbondo.
Bertepatan dengan momen hari kemerdekaan, saya ditemani teman saya, Adi, berkesempatan menjajal jalur pendakian Argopuro lintas Baderan - Bremi.
HARI KE 1, 15 AGUSTUS 2015.
±10.30
Berangkat dari Surabaya menuju Besuki dengan mengendarai besi kuda Honda K45.
±03:00
Tiba di Alun-Alun Besuki. Bertemu dengan rombongan pendaki dari Sidoarjo yang juga mau mendaki ke Argopuro. Setelah istirahat dan ngopi, Saya dan Adi bersama rombongan pendaki Sidoarjo pergi ke pasar Besuki yang letaknya tidak jauh di sebelah barat alun-alun. Setelah persiapan logistik beres, saya, Adi dan rombongan pendaki Sidoarjo patungan untuk carter pick up menuju desa Baderan.
±05:00
Tiba di desa Baderan. Suasana desa masih sepi, namun terasa damai sekali. Dan udara dingin terasa menusuk kulit. Sholat Subuh lalu sarapan di warung warga. Tidak lupa bungkus nasi untuk makan siang nanti. Setelah itu pisah dengan rombongan pendaki Sidoarjo untuk berangkat duluan.
±07:00
Memakai jasa ojek dengan ongkos 35 ribu, meninggalkan desa Baderan menuju ke batas jalan makadam.
Ojek dari Baderan |
±07:57
Mulai menapakkan kaki menyusuri trek tanah. Di kanan kiri adalah perkebunan warga. Semakin naik jalan menjadi sempit seperti jalan air waktu hujan.
Jalur selokan yang menyiksa kaki |
±10:30
Melalui Mata Air 1. Terlihat beberapa tenda berdiri disini. Istirahat sejenak kemudian lanjut jalan. Tidak terlalu lama istirahat memang, mengingat jalan masih panjang.
±13:00
Tiba di Mata Air 2. Istirahat, makan siang dan sholat Dhuhur dulu disini.
Mata Air 2 berupa sungai kecil yang letaknya turun di sebelah kanan jalur |
±15:54
Tiba di Sabana 1. Bertemu dua orang pendaki dari Semarang, Oyong namanya dan seorang temannya. Sejak dari sini kita jalan beriringan terus, pas 4 orang. Rombongan 4 orang terasa lebih nyaman, tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi.
Sabana pertama |
±16:20
Tiba di Sabana 2. Banyak juga rombongan yang tiba terlebih dahulu disini, termasuk dari Komunitas Pendaki Tektok.
Sabana kedua |
±17:03
Meninggalkan Sabana 2 setelah cukup lama berhenti disini, karena terhipnotis oleh pemandangan sabana yang sangat indah.
Perjalanan selanjutnya melewati beberapa sabana lagi dan jalur yang didominasi tanaman Jelatang atau Jancukan. Hari mulai gelap, langkah kaki mau tak mau harus dipercepat supaya sampai di Cikasur tidak terlalu malam.
±18:00
Tiba di area Sabana Cikasur. Sebelum menuju Pos Cikasur, terlebih dulu lewat sungai untuk mengambil air. Cuaca lagi ekstrim, udara dingin terasa sangat menusuk kulit. Tiba di area kemah langsung membuka tenda. Saking dinginnya udara, sampai telapak kaki mati rasa dan sakit sekali.
HARI KE 2, 16 AGUSTUS 2015.
±06:00
Bangun pagi lihat tenda dan keril sudah berlapiskan es tipis. Mau keluar jadi malas karena udara sangat dingin. Sekitar jam 07.00 baru berani keluar hehee...
Cikasur bersalju |
Bekas landasan pesawat |
Sabana Cikasur dilihat dari atas bukit |
Sungai kehidupan di Cikasur |
±09:45
Ketika hendak meninggalkan Sabana Cikasur, tiba-tiba ada rombongan motor trail datang. Kedatangan rombongan motor yang menimbulkan suara bising ini langsung merusak suasana Cikasur yang damai dan alami. Memang sih, warga setempat diijinkan menawarkan jasa ojek dari desa Baderan hingga Cikasur. Tapi seharusnya motor selain ojek tidak diperbolehkan
karena berpotensi merusak ekosistem. Kasihan hewan-hewan penghuni Cikasur menjadi ketakutan. Padahal disini adalah sarang hewan-hewan liar, karena ada sumber air dan sungai.
Perjalanan menuju cikasur masuk keluar hutan dan sabana beberapa kali. Tidak ada tanjakan yang berarti. Cuaca cerah sekali, bahkan semakin siang terasa makin panas. Sesekali diselingi dengan kokok burung merak bunyinya terus terang bagi saya menakutkan hehee...
±12.30
Setelah melewati trek yang melipir lereng, akhirnya tiba di area Cisentor. Seperti halnya di Cikasur, kedatangan kami di Pos Cisentor disambut aliran sungai. Di sungai ini juga tumbuh banyak selada air.
Sungai kecil Cisentor |
Pos Cisentor |
±15:50
Tiba di Rawa Embik. Disini ada aliran air kecil.
Sementara matahari mulai bersembunyi dibalik tingginya puncak-puncak Argopuro, namun sinarnya masih menerangi langit.
Rawa Embik |
±18:30
Tiba di Sabana Lonceng...
Lokasi Sabana Lonceng di kelilingi oleh bukit-bukit yang lebih tinggi sehingga cukup terlindung dari angin yang kencang.
Sudah ada api unggun besar menyala dan hanya ada 1 tenda yang berdiri, punya kelompok pendaki yang tadi turun mengambil air ke Rawa Embik. Saya dan Adi segera mendirikan tenda. Setelah PW alias Posisi Wenak di dalam tenda, para pendaki tadi meminjam jaket,
baju atau apa saja buat menahan dingin. Maklum, tenda mereka adalah tenda tradisional dari terpal yang digantung dan ditarik dengan tali yang diikat ke dua batang pohon. Saya pinjamkan saja jas hujan milik saya.
Angin yang berhembus cukup kencang dan suhu yang dingin membuat saya enggan keluar tenda. Tidur lebih nikmat setelah perjalanan kurang lebih 9 jam hehehe
HARI KE 3, 17 AGUSTUS 2015.
±05:30
Berangkat ke Puncak Rengganis dengan semangat 45 hehehe... Karena hari ini bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Puncak Rengganis berada tepat di belakang atas tempat saya dan Adi mendirikan tenda. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di puncak yang memiliki situs perbakala tertinggi di tanah Jawa ini.
±06:00
Sampai di Puncak Rengganis...
Sungguh, saya tidak pernah mengira di tempat yang sangat jauh di tengah hutan dan di ketinggian seperti ini terdapat peninggalan peradaban kuno. Rasanya tidak habis-habisnya rasa kagum saya akan tempat ini. Membayangkan, bagaimana orang-orang jaman dulu menemukan tempat ini, mendirikan bangunan, dan hidup di tempat ini? Apakah situs ini merupakan pemukiman permanen atau tempat suci yang hanya dikunjungi pada masa-masa tertentu saja? Banyak sekali rasa penasaran yang hinggap di benak saya. Ah rasanya ingin berlama-lama di tempat ini. Suatu saat nanti ingin ke sini lagi dan berlama-lama disini :D
Gunung Raung yang sedang aktif tampak dari Puncak Rengganis |
Tiba di Sabana Lonceng lagi, masak-masak dan sarapan. Tidak ketinggalan foto-foto, mumpung cuaca sedang cerah.
Puncak Argopuro dilihat dari Sabana Lonceng |
±09:00
Meninggalkan Sabana Lonceng menuju Puncak Argopuro.
Melihat Sabana Lonceng dari lereng Puncak Argopuro |
±09:40
Tiba di Puncak Argopuro...
Puncak Argopuro |
±10.13
Meninggalkan puncak Argopuro menuju Puncak Hyang/Arca.
Semeru terlihat di sela-sela perjalanan ke Puncak Hyang |
±10.25
Tiba di Puncak Hyang/Arca...
Puncak Hyang sangat dekat dari puncak Argopuro. Puncak Hyang di sebut juga puncak Arca karena disini terdapat arca kecil berwujud manusia duduk di singgasana yang langsung diukir dari batu yang menancap di lereng. Sayang kepalanya sudah hilang. Disini terdapat tempat datar dan rapi yang bisa buat mendirikan tenda.
Penanda Puncak Arca berupa sebuah arca tanpa nama |
Puncak Rengganis dilihat dari Puncak Hyang |
Meninggalkan puncak Hyang.
Lembah jalur alternatif yang menghubungkan puncak-puncak |
±13.00
Tiba di Cemara Lima...
Cemara Lima berupa lembah yang bisa ditempati untuk mendirikan tenda. Ada satu tenda berdiri disini dengan kondisi kusut dan sepertinya tidak berpenghuni? Penghuninya kemana? Tadi waktu jalan turun tidak berpapasan sama sekali dengan orang lain. Lihat tenda itu kesannya horor jadinya hehee...
±14.00
Memasuki Hutan Lumut...
Disebut Hutan Lumut karena vegetasinya sangat rapat, membuat sinar matahari terhalang untuk masuk ke dasar hutan. Sehingga tingkat kelembabannya sangat tinggi dan membuat tanah serta batang-batang tanaman dan pohon tertutup oleh tumbuhan lumut berwarna hijau.
Memasuki hutan lumut ada kesan tersendiri yang membuat bulu kuduk berdiri, apalagi kalau berjalan sendirian. Banyak pohon-pohon raksasa disini dan akar-akar gantung yang usianya mungkin sudah puluhan bahkan ratusan tahun.
Setelah cukup lama berjalan di Hutan Lumut, samar-samar terdengar suara motor dan lama-kelamaan suaranya makin dekat. Saya pikir suara motor itu berasal dari Danau Taman Hidup, karena bisa diakses dengan sepeda motor. Berarti posisi kami sudah dekat dengan Danau Taman Hidup.
±14.40
Tiba di Danau Taman Hidup. Ternyata benar dugaan saya, ada dua sepeda motor dan dua warga lokal yang sedang memancing di Danau Taman Hidup. Tidak ada rencana menginap disini, tapi sayang sekali kalau cuma sebentar di Taman Hidup. Singgah cukup lama disini, makan-makan dan menikmati pemandangan Taman Hidup.
±17.00
Meninggalkan Danau Taman Hidup. Nah disinilah terjadi sedikit masalah. Dimana jalan dari Danau Taman Hidup menuju Bremi? Kurang lebih setengah jam bolak balik mencari petigaan jalur yang menghubungkan Danau Taman Hidup, Hutan Lumut dan Bremi. Untungnya ketemu dengan 2 orang yang sedang memancing tadi. Setelah tanya-tanya, ternyata pertigaannya masih masuk lagi agak jauh ke dalam Hutan Lumut. Kalau dari arah Danau Taman Hidup, pertigaan belok kiri menuju Bremi. Belok kanan kalau dari puncak atau Hutan Lumut.
Mengingat sudah malam, langkah kaki saya percepat bahkan kadang setengah berlari supaya segera sampai di Bremi dan istirahat. Disinilah saya bersama Adi terpisah dengan Oyong dan temannya. Masalah kembali menghadang ketika hampir sampai di pemukiman. Ketika sudah melewati perkebunan dan lampu-lampu rumah sudah terlihat jelas di depan mata, namun kami salah ambil jalan dan bertemu jalan buntu yang langsung berbatasan dengan sungai. Mau tidak mau harus balik lagi mencari jalan yang benar, padahal energi sudah mau habis.
±19.00
Alhamdulillah tiba Pos perijinan di desa Bremi yang sudah tutup karena sudah malam. Di sebelah pos, ada warung yang masih buka penuh dengan pendaki yang juga baru turun. Tidak terhitung berapa gelas minum yang sudah saya habiskan di warung. Seperti habis terkena dehidrasi, tenggorokan rasanya masih minta diguyur minum terus.
Semakin malam udara semakin dingin serasa masih di atas gunung. Wajar saja, ternyata posisi desa Bremi di ketinggian di atas 900 mpdl. Setelah makan dan puas bersantai di warung, Saya dan Adi berjalan keluar menuju jalan raya yang jaraknya tidak jauh dari Pos Perijinan. Ketemu jalan raya, bila ke kanan yang jalannya menurun adalah arah ke Probolinggo ada Basecamp, penginapan dan Balai Desa Bremi. Sedang ke kiri yang jalannya naik akan ketemu dengan Masjid Al Barokah, Kantor Polisi Krucil dan Hotel Bumi Bremi Permai. Karena Bremi adalah desa wisata yang sudah cukup terkenal dan lokasinya di dekat pusat kecamatan Krucil, sehingga fasilitas disini sudah lengkap, ada hotel dan penginapan. Sudah ada moda transportasi umum juga berupa bis akas kecil, meskipun jadwalnya hanya 2 kali sehari tiap pagi dan sore. Sementara para pendaki lain menuju penginapan, saya dan Adi memutuskan istirahat dan tidur di masjid saja.
HARI KE 4, 18 AGUSTUS 2015.
Setelah subuh, jalan kaki menuju Hotel Bumi Bremi Permai yang juga menjadi terminal bis akas. Sekitar jam 06.00 bis berangkat meninggalkan desa Bremi. Selamat tinggal Argopuro... Semoga bisa menjelajah keindahanmu lagi di lain waktu ;)