Menggapai Puncak Rinjani

Menjelajah Kediaman Terakhir Dewi Anjani

Lawu Lewat Candi Cetho

Perjalanan Terpanjang Menuju Puncak Lawu

Puncak Mahameru

Sebuah Legenda Tersisa - Puncak Abadi Para Dewa

Menggapai Puncak Rinjani

Menjelajah Kediaman Terakhir Dewi Anjani

Lawu Lewat Candi Cetho

Perjalanan Terpanjang Menuju Puncak Lawu

Wednesday, December 16, 2015

MESSNER DAN JUREK

 2 ORANG TERHEBAT DALAM SEJARAH PENDAKIAN GUNUNG


Nostalgia dengan catatanku di blog multiply 8 tahun yang lalu, yang aku tulis sekedar untuk wawasan dan motivasi diri sendiri. Tidak menyangka kalo banyak yang sharing, padahal catatan aslinya sudah hilang bersamaan dengan multiply gulung tikar. Hmmmm... Bukan bermaksud untuk mengarahkan dan mempengaruhi, tapi fakta apa adanya tentang 2 orang pendaki legendaris gunung-gunung 8000mdpl.

Friday, December 11, 2015

Pendakian Arjuno Jalur Purwosari


RUTE BERSEJARAH MENUJU PUNCAK ARJUNO

Catatan Pendakian kali ini adalah Gunung Arjuno jalur Purwosari yang saya alami pada tanggal 13-14 Juni 2015. Ditemani oleh Saiful Adi dari Mojosari, Mojokerto. Awalnya rencana pendakian hanya sampai pos terakhir. Namun apa daya, puncak memang selalu menggoda, sehingga akhirnya bablas sampai puncak Ogal-Agil 3.339m.

Sabtu, 13 Juni.

Rumah Mbah Juru Kunci
Trek awal
±11.08 WIB. Perjalanan dimulai dari rumah juru kunci situs-situs purbakala. Mengambil jalan pintas lewat ladang kopi milik warga, hingga akhirnya ketemu dengan jalur utama pendakian yang berupa jalan makadam. Di kanan kiri jalan makadam adalah perkebunan kopi milik warga. Selama di jalan juga ketemu dengan tandon air milik warga dan gubuk.

POS 1 GOA ANTABOGA
±11.57 WIB. Tiba di POS 1 GOA ANTABOGA. Disambut dengan papan hijau bertuliskan DAERAH TRADISI PEMBARETAN WARGA BARU DIVIF 2 KOSTRAD dan gerbang gapura bertulis GUO ONTO BOEGO (Indonesia: GOA ANTABOGA). Disini selain goa Antaboga, juga tugu Antaboga, pondok untuk istirahat, sumber air dan toilet, serta camping ground.

Persimpangan jalan
+12.30 WIB. Setelah istirahat dan sholat dhuhur, mulai jalan lagi meninggalkan POS 1. Tepat di atas POS 1 ada semacam persimpangan jalan, jalan yang benar dilewati pipa air. Kondisi jalan sudah didominasi tanah, meskipun masih banyak batu-batu yang menghiasi sepanjang jalan. Semakin ke atas jalannya makin didominasi tanah.

Tandon air
Kiri/lurus ke puncak
+12.54 WIB. Melewati tandon penampungan sumber air. Di sini bertemu pertigaan, jalur ke puncak lewat jalan kiri yang dilewati pipa air. Di sebelah kiri kadang-kadang masih terlihat perkebunan warga, sementara di kanan adalah hutan.

POS 2 TAMPUONO
Warung
Pondokan
Sendang Dewi Kunti
+13.15 WIB. Tiba di POS 2 TAMPUONO. Beberapa pendaki sedang beristirahat di POS. Sampai disini disambut sebuah pos kecil dan warung. Tapi begitu jalan lagi ke atas ternyata lebih banyak lagi warung dan pondok peristirahatan, dan situs-situs perbakala. Istirahat cukup lama disini sambil berkeliling melihat-lihat. Disini terdapat petilasan EYANG ABIYASA dan ada kolam kecil bernama , juga ada kamar mandi dan toilet. Istirahat sebentar disalah satu pondok sebelum melanjutkan perjalanan.

POS 3 EYANG SAKRI
+14.15 WIB. Melewati POS 3 EYANG SAKRI. Bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang istirahat.

+14.43 WIB. Melewati sebuah pondok yang kelihatan angker karena seperti sudah lama tidak ada yang menempati, tapi kondisinya masih bagus.

POS 4 EYANG SEMAR
+15.19 WIB. Tiba di POS 4 EYANG SEMAR. Ada sumber air dan beberapa pondok. Di POS EYANG SEMAR ini kita sudah bisa menikmati pemandangan yang ada di bawah. Setelah ishoma, perjalanan pun berlanjut.

POS 5 EYANG MANGKUTOROMO
Pondokan
+16.55 WIB. Tiba di POS 5 EYANG MANGKUTOROMO. Ada pondok, sumber air dan toilet. Istirahat dan tidur disini, mengumpulkan kembali energi untuk berangkat ke puncak nanti malam.

+23.00 WIB. Bangun dan menyiapkan asupan energi buat ke puncak.

+24.00 WIB. Perjalanan menuju ke puncak di mulai. Dengan membawa ransel berisi kompor, nesting, air, mie dan 2 botol besar air mineral, saya dan teman-teman meninggalkan Petilasan EYANG MANGKUTOROMO. Tidak jauh di atas EYANG MANGKUTOROMO adalah CANDI SEPILAR. Tapi karena malam dan gelap, jadi tidak sempat menikmati bentuk candinya.
CANDI SEPILAR


Minggu, 14 Juni.

+02.35 WIB. Sampai di monumen Jawa Dwipa. Ada beberapa tenda yang berdiri di sini. Setelah melewati monumen Jawa Dwipa, jalur mulai terjal tidak terkendali. Ada tanjakan cukup panjang dan terjal dengan kemiringan 45-80° sehingga harus merangkak dan sangat menguras tenaga.

+05.30 WIB. Matahari sudah terbit dan puncak belum juga terlihat. Istirahat dulu sambil meratapi nasib gagal menikmati matahari terbit di puncak. Bikin api unggun untuk mengusir dingin sambil menunggu teman-teman yang masih tertinggal di bawah. Setelah menunggu beberapa menit belum ada tanda-tanda kemunculan teman yang dibawah, akhirnya saya berdua dengan Syamsul melanjutkan perjalanan ke puncak, sementara Lia dan adiknya Syamsul menunggu Saiful dan kawan-kawan yang masih di bawah.

Pemandangan menuju puncak
Pertemuan jalur Purwosari - Lawang
+07.00 WIB. Sampai di pertemuan jalur Purwosari dan Lawang, berarti tidak lama lagi sampai puncak.

Gumpalan es
+08.00 WIB. Akhirnya sampailah di area puncak. Di beberapa bagian tanah di area puncak ternyata terdapat gumpalan es, menandakan suhu dingin yang lumayan ekstrim dibawah nol derajat. Tepat di bawah puncak ada seorang pendaki yang mengalami kepala pusing. Untungnya saya sedia obat sakit kepala. Ada beberapa tenda yang berdiri di area puncak. Lumayan banyak juga pendaki yang ada di puncak.

Tas saya taruh di bawah sebuah batu besar yang ada celukannya, lumayan melindungi dari teriknya matahari. Saatnya menikmati pemandangan di puncak Ogal Ogil...

Gunung Kawi dan Buthak. Jauh di kanan adalah Gunung Kelud.
TNBTS

Setelah menikmati pemandangan, saya beristirahat di bawah sebuah batu besar yang ada celukannya dimana saya meletakkan ransel sebelumnya. Eh tidak tahunya ada rombongan yang seenaknya ikut menikmati air saya yang saya taruh di samping tas, dikira tas saya punya temannya... Haduhh.

Sambil menunggu teman-teman, saya memasak mie karena perut sudah mulai keroncongan. Setelah mengisi perut kembali menjelajah area puncak untuk menikmati pemandangan.

+11.30 WIB. Setelah lumayan lama menikmati puncak dan menunggu teman-teman yang lain tak kunjung muncul, saya pastikan mereka tidak meneruskan sampai ke puncak. Saya putuskan untuk turun. Saya cepatkan langkah kaki meninggalkan puncak, bahkan berlari karena khawatir teman-teman menunggu dibawah.

+12.40 WIB. Sampai di CANDI SEPILAR. Sesampainya di EYANG MANGKUTOROMO, saya dapati teman-teman lagi molor semua ternyata hehehe...

+16.00 WIB. Siap-siap turun meninggalkan EYANG MANGKUTOROMO. Karena hari sudah beranjak sore, langkah kaki kami cepatkan.

+18.00 WIB. Tiba di POS 2 TAMPUONO.

+19.00 WIB. Tiba di POS 1 GOA ANTABOGA. Disini saya baru merasakan kaki sakit semua karena efek turun sambil berlari.

Sesampainya di basecamp, tidak berlama-lama, segera meluncur pulang ke rumah karena sudah malam dan besok harus berkarya lagi :)

Terimakasih kepada mas Saiful Adi dan kawan-kawan yang telah menemani perjalanan saya.

Saturday, October 17, 2015

Maut di Ketinggian Sunyi Gunung Salak 1987


Maut di Ketinggian Sunyi (Gn.Salak 1987)
Majalah Tempo 21 Maret 1987


HINGGA Selasa pagi pekan itu, dua liang masih menganga terbuka di Taman Pemkaman Umum (TPU) Penggilingan, Rawamangun, Jakarta. Itulah pertanda bahwa Irvan Supandi dan Ahmad Rudiat masih berada jauh tinggi di sana, di Gunung Salak, entah mati entah hidup. Itu juga berarti ratusan pecinta alam masih terus menyusur Sungai Cibadak di gunung itu, tempat jenazah rekan mereka — yang sudah mengisi empat kuburan baru di sebelah kedua liang kosong tadi — ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

Sebuah akhir cerita hidup yang menyedihkan, memang. Padahal, tak ada firasat buruk muncul di awal pendakian nahas ini. Ia bermula ketika delapan siswa kelas dua STM Pembangunan Jakarta Timur mencari ide untuk mengisi hari libur yang tiba-tiba menubruk mereka. Pasalnya, pada hari Jumat, 20 Februari lalu itu, sekolah mereka kebanjiran hingga tak ada kegiatan belajar. Ditambah lagi keesokan harinya para guru berniat mengadakan rapat, yang menyebabkan murid bebas belajar. Wajar jika di pagi itu tiba-tiba muncul ide untuk mendaki Gunung Salak keesokan harinya.

Secara spontan, perencanaan pun didiskusikan dan kata sepakat dicapai untuk berkumpul di depan sekolah esok harinya, pukul 8 pagi. Adalah nasib jua yang membuat Yumarsanto, 17, ternyata terlambat bangun. Toh ia masih mencoba pergi ke tempat rendezvouz tersebut. Tapi ia cuma menjumpai tukang mi langganan mereka, yang menginformasikan bahwa ia telah ditinggal. 

Belakangan, Yumarsanto mengetahui ia tak sendirian. Boyke Zulkarnaen, yang tadinya juga merencanakan berangkat, ternyata, urung ikut. Alhasil, hanya 6 orang yang berangkat: Ahmad Rudiat, 19, Chaerudin, 18, Eddy Pujianto, 18, Irvan Supandi, 16, Mulyadi, 19, dan Wisnu Herwanto, 18. Besar dugaan, Ahmad Rudiat alias Adit menjadi pemimpin tak resmi rombongan ini. “Kata teman-temannya, ia memang paling berpengaruh,” tutur Djukardi Adriana alias Bongkeng, anggota Wanadri yang menjadi on scene commander operasi SAR di Gunung Salak ini. Adit memang punya modal untuk memimpin. Hanya dia dan Mulyadi yang anggota resmi pecinta alam di sekolah mereka, karena itu berhak memakai syal segitiga biru berinisial klub itu. Lagi pula, ia berpengalaman mendaki Gunung Cermai di Cirebon dan Gunung Gede–Pangrango di kawasan Puncak. Hingga, ayahnya pun Letkol Drs. A.R Sabirin, mudah saja memberi izin anaknya mendaki Gunung Salak kendati istrinya keberatan. “Dia cuma minta uang Rp 6.000 dan bilang hari Minggu sudah pulang,” kata Sabirin. Agaknya, kepemimpinan Adit yang dibantu Mulyadi ini yang menyebabkan rombongan kemudian memilih jalur pendakian yang tak umum. 
Alasannya, memang, khas anak muda. Mereka tampaknya ingin membuat jalur pendakian baru menuju pancuran tujuh, yaitu air terjun dekat puncak Gunung Salak yang masih jarang dikunjungi orang. Mulyadi pernah merintis rute ini, Desember 1986, tapi sampai di pancuran ketiga kehabisan perbekalan. Maka, terpaksa perintisan rute ditangguhkan dan rombongan Mulyadi saat itu turun kembali. Tapi mereka sempat meninggalkan tanda berupa ikatan tali rafia biru di pohon yang mereka lalui. Rencananya, klub STM mereka yang bernama Teknik Pembangunan Pencinta Alam (Tepepa) akan melanjutkan penelusuran. Ketua Tepepa, Kelly Daryono, merencanakan melakukan ekspedisi ini sehabis pemilu nanti, dan rute itu akan di namakan rute STM Pembangunan. Ada dugaan, rombongan Adit dkk. ini ingin mendahului Kelly.

Maklum, menurut rekan-rekan mereka, kedua siswa ini memang bersaing. Sayangnya, semangat kompetitif yang sehat itu tak didukung persiapan yang matang. Perlengkapan mereka sangat tak memadai untuk ekspedisi membuka jalur baru: tak ada kompas, pakaian, dan makan yang mencukupi. “Yang paling fatal, sebagai pendaki yang ingin menemukan rute baru, mereka tak membawa peta,” kata Bongkeng. Perbekalan diperkirakan hanya disiapkan untuk dua hari, sedangkan pakaian pelindung hujan terabaikan. Mulyadi, misalnya, berangkat dalam pakaian seragam sekolah dan tak membawa jaket. Belakangan terbukti, hal yang kelihatan sepele ini menjadi penyebab utama perjumpaan mereka dengan sang maut. Padahal, medan Gunung Salak tergolong sulit. Banyak lembah dan jurang, dengan sungai berair terjun yang diapit dinding yang curam.

Di dinding curam ini ada hutan-hutan yang ditumbuhi rotan, belitan tamiang (pohon rambat), dan onak. Hingga saat ini, masih belum jelas bagaimana sebenarnya rute yang mereka tempuh. Bila mereka meneruskan jalur rafia biru, berarti mereka masuk dari Sukamantri dan terus naik ke arah selatan, hingga ikatan rafia biru itu habis. Ini berarti mereka telah mendaki sekitar tujuh jam. Mungkin mereka lalu meneruskan perjalanan menerabos semak ke selatan. Ini terbukti dari ikatan rafia kuning yang mereka tinggalkan. Sementara itu, terjalnya pendakian mungkin memaksa mereka mengarah ke barat daya. 

Bisa jadi, di ujung ikatan rafia kuning ini ditemukan — sekitar satu setengah hari pendakian dari Sukamantri — mereka mulai tersesat. Entah karena kehabisan tali rafia kuning sebagai petunjuk atau mereka tergoda untuk menuruni gunung ke arah timur. Maklum, arah itu sekilas terlihat landai dan lampu perumahan di lereng gunung dapat terlihat jelas.

Bisa dibayangkan, dalam kondisi lelah, lapar, dan kedinginan, sinar lampu perumahan itu terasa mengundang mereka untuk segera datang. Tanpa peta, mereka tak menyadari bahwa di depan menghadang jurang yang dalam dan tebing yang terjal.

Padahal, hujan terus mengguyur selama pendakian itu. Suasana panik atau tergesa-gesa terkesankan dari ditemukannya banyak barang tercecer di daerah ini, seperti sarung tangan, sapu tangan, sumbu kompor, dan supermi utuh. Apa yang terjadi sesudah itu memang masih sulit diduga. Letkol Sabirin mulai merasa waswas ketika anaknya tak kembali ke rumah hari Minggu, 22 Februari lalu. Sampai Minggu malam, Sabirin masih berharap anaknya tertidur kelelahan di rumah temannya. Tetapi ketika esok siangnya Adit masih belum muncul, Sabirin mulai mengambil tindakan.

Mula-mula, ia menghubungi orangtua Mulyadi, yang ternyata malah tak tahu anaknya mendaki gunung. Lantas, ia mencoba menghubungi rumah teman Adit yang lain. Tanpa hasil. Maka, Selasa pagi, 24 Februari, Sabirin mencari keterangan ke sekolah. Ternyata, pihak sekolah tak tahu ada muridnya yang mendaki Gunung Salak. Bahkan baru hari itu mereka tahu bahwa di kelas Adit ada enam siswa yang tidak hadir sejak Senin. Alhasil, Sabirin langsung berangkat ke Bogor dan menghubungi Polsek Ciomas, di kaki Gunung Salak. Pengumpulan informasi pun dilakukan dari masyarakat sekitar dan didapat keterangan memang ada satu grup STM pergi mendaki, tetapi tak jelas dari STM mana. Lantas, dengan ditemani Kapolsek Ciomas, Letda Budi Setiadi, dan 20 penduduk, Sabirin mendaki Gunung Salak untuk mencari anaknya.

Hasilnya nihil. Maklum, menyisir Gunung Salak memang bukan pekerjaan kaum amatir. Atas saran Kapolsek, Sabirin pun segera menghubungi SAR pusat, di Jakarta, dan awal pencarian besar-besaran terhadap keenam pendaki itu pun dimulai. Sayang, awalnya kurang menggembirakan. Pasalnya, mereka mendapatkan informasi dari kelompok Wanadri Jakarta dan SMAN 8 Jakarta yang mendaki pada hari yang sama dengan Adit dkk. bahwa mereka bertemu dengan kelompok STM antara Warung Loa dan puncak Gunung Salak. Karena itu, pencarian pun dilakukan sekitar Warung Loa itu. Baru pada 1 Maret tim SAR menyadari bahwa grup STM itu bukanlah Adit dkk. Hal ini terungkap setelah Kelly Daryono bersama tujuh anggota Tepepa lainnya dan seorang guru merintis jalur Sukamantri. Mereka malah kemudian tersesat. Untung, hubungan radio handy talky yang mereka bawa dengan posko SAR bisa terjalin. Mulanya, mereka disarankan untuk menunggu regu penjemput, tapi Kelly dkk memutuskan mencoba jalan sendiri. Dibimbing dengan hubungan radio komunikasi itu, akhirnya, mereka sampai di posko SAR.

Dari penuturan Kelly inilah tim SAR menyadari kekeliruan mereka. Apalagi Kelly dkk. berhasil pula menemukan jejak yang meyakinkan, seperti tulisan “MUL” (dari Mulyadi) di tepi sungai. Beberapa pihak menyayangkan Kelly tak melaporkan ini lebih dini. Namun, ada juga yang heran mengapa tim SAR percaya begitu saja bahwa Adit dkk. mendaki dari Warung Loa. “Memang, data yang masuk dari Warung Loa itu yang membingungkan dan kami terlambat mendengar mereka masuk dari Sukamantri,” kata Ir. Gustav Adolf “Ocim” Husein dari Wanadri. 

Walhasil, pengorbanan tim SAR berdingin-dingin dan berletih-letih selama seminggu di sekitar Warung Loa terhitung sia-sia belaka. Dengan petunjuk baru yang lebih meyakinkan ini, daerah pencarian pun dipindahkan ke sekitar daerah habisnya rafia kuning. Sementara itu, pemberitaan media pun mulai gencar meliput upaya SAR ini. Dampak positif pemberitaan adalah mengalirnya sumbangan sukarela dari masyarakat baik berupa materi maupun tenaga sukarelawan yang bagai tak ada hentinya itu. Kendati jenazah yang ditemukan tim SAR 12 – 13 Maret lalu telah rusak parah, penemuan ini menghentikan perasaan tidak pasti yang mengimpit sanak keluarga mereka. 

Sukarelawan baru terus berdatangan, termasuk tim Skygers yang dipimpin Harry Suliztiarto.
Tim manusia cecak, yang pernah menaklukkan tebing Eiger di Pegunungan Alpen, itu kini menyusuri jeram-jeram Sungai Cibadak untuk mencari Irvan dan Adit. Kehadiran mereka memang sangat diharapkan, mengingat jeram ini 80-an meter tingginya dengan keterjalan tinggi. Apakah mereka akan berhasil menemukan Adit dan Irvan, yang telah hampir sebulan ini berdingin-dingin di ketinggian nan sunyi, jauh di sana? 
(Bambang Harymurti, Laporan Toriq Hadad & Farid Gaban)



Kisah Pencarian oleh Kelly Daryono dan PA TEPEPA
Edwin hibiki (plus.google.com/111739634583097515897)

Berikut kisah dari sudut pandang Kelly Daryono (Pendiri dan ketua Pencinta Alam TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM) dalam usahanya bersama Pencinta Alam TEPEPA melakukan pencarian para junior mereka yang hilang di Gn. Salak 1987:

Sudah 29 tahun yang lalu kisah ini terjadi pada diri saya dan baru hari ini saya menemukan dan membaca  artikel yang pernah saya alami, itu pun saya dikirimi artikel ini oleh seorang anak muda dimana pada  bulan april 2015 kami bertemu dan mendaki bareng ke puncak gunung rengganis dan argopuro.  Beberapa anak muda yang saat melakukan pendakian argopuro dan rengganis memiliki semangat tinggi walaupun dr ilmu pendakian dan jelajah alam masih  kurang mempuni akan tetapi karena rasa  ingin tahu dan belajar yang kuat terlihat dari pandangan matanya. Saat itu saya tidak ingin menggurui atau mendidik secara langsung tetapi cukup dengan cerita pengalaman saya selama mendaki gunung dari pertama kali saya mendaki kelas 5 SD hingga sekarang. Dari cerita saya yang  panjang , ada bagian cerita yang menarik perhatian anak muda yang baru saya kenal itu  "TRAGEDI GUNUNG SALAK 1987" yang hingga kini kisah itu tidak akan pernah saya lupakan dan akan selalu saya kenang karena merupakan pelajaran yg amat berharga dalam hidup saya.                                                            

Saya  bernama KELLY DARYONO (085810 221122) pendiri dan ketua Pencinta Alam TEPEPA ( TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM )  1984 akhir  s/d 1987  dan akan sedikit mengkoreksi  dan menambahkan bagian bagian kisah Tragedi gunung salak 1987   yang mungkin belum atau kerena keterbatasan informasi  yang diterima  sehingga penulis tidak menceritakan di dalam kisah ini :

I. Desember 1986 .
Saat  di kisahkan oleh penulis , MULYADI  (almarhum) ikut merintis membuka jalur pendakian gunung salak pada bulan desember 1986,  Cerita sebenarnya mulyadi tidak ikut dlm ekspedisi buka jalur  karena expedisi tersebut merupakan program senior senior pencinta alam sekolah kami (TEPEPA) TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM. Dan program itu akan di jadikan ajang pemilihan ketua pencinta alam  sebagai pengganti saya yg  akan berakhir jabatan karena kelulusan sekolah.  Kala itu saya  duduk di kelas 4 STM PEMBANGUNAN JAKARTA,  Mulyadi dan Ahmad Rudiat masih duduk di kelas 2.  Saya merupakan pendiri dan sekaligus menjabat KETUA  Pencinta Alam di sekolah kami ,selama 2 tahun lebih (pendirian PA saat saya duduk di bangku kelas 2 akhir). Program pemilihan ketua pencinta alam untuk mencari jalur yang saya buka bersama rekan rekan seangkatan saya saat itu ternyata bocor ke anggota PA dan seperti yg dikisahkan oleh penulis, MULYADI dan AHMAD RUDIAT merupakan anggota PA yang  berambisi menjadi ketua PA oleh karenanya mereka bersama ke 4 rekan sekelasnya mencoba dan mencari jalur yg kami rintis dan belom selesai itu pada ketingian  ( 1600 MDPL ) dan akan kami lanjutkan setelah pemilu selesai. Kemungkinan langkah ini diambil oleh mereka karena berdua  memang berambisi, untuk menjadi ketua PA , jabatan ketua PA kala itu merupakan jabatan bergengsi dan menjadi ajang rebutan dari semua siswa   yang ada di sekolah kami.

II.  Senin 23 februari 1987
Orang tua Ahmad Rudiat datang ke sekolah kami menanyakan tentang keberadaan Ahmad Rudiat dan saat itu pula saya di panggil kepala sekolah ( Bapak Harmaen ) untuk menanyakan anggota PA apa ada kegiatan pendakian gunung , saat itu saya jawab tidak ada akan tetapi orang tua AHMAD RUDIAT menginformasikan bahwa anaknya pada hari sabtu yang lalu mendaki Gunung Salak dan hingga kini belum kembali . Maka saya pun kaget , dan merasa bersalah  atas kepergian  AHMAD RUDIAT cs  tersebut, karna saya tidak tahu menahu  kalau ada anggota pencinta Alam  yang  mendaki gunung tanpa izin organisasi PA.

III.  Selasa 24 februari 1987.
Saya bolos sekolah dan pergi ke Terminal bogor seorang diri dan bertanya kepada seluruh supir angkot ( bemo / kendaraan roda 3  ) dengan pertanyaan yang sama apakah hari sabtu 21 februari ada 6 orang siswa yang naik bemo dan akan mendaki gunung salak , pencarian informasi di terminal itu saya lakukan dari pagi hari hingga sore hari untuk memastikan semua supir bemo mendapat pertanyaan yang sama ,dan akhirnya saya mendapat jawaban dari salah seorang supir bemo jawabanya ADA dan turun di pertigaan Sukamantri. Selanjutnya saya pergi ikut supir bemo tsb,   ke pertigaan desa Sukamantri  dimana AHMAD RUDIAT cs turun dari bemo itu. Dan saya kemudian jalan dan bertanya kepada penduduk  yg ada di sekitar jalan itu dan mendapat jawaban yang sama dgn supir bemo. Selanjutnya saya bergegas pulang ke rumah karena hari sudah malam.

IV .  Rabu 25 februari 1987.
Saya datang ke sekolah seperti biasanya dan saya menghadap bapak kepala sekolah  dan melaporkan pencarian informasi awal yang saya  jalani seorang diri. Dan ternyata bapak kepala sekolah memerintahkan kepada saya untuk ikut bergabung dengan  Team SAR yg kala itu di pimpin KANG BONGKENG sebagai koordinator SAR. Dan saat itu saya di beri uang saku Rp. 300.000 untuk membeli perbekalan pendakian. Ditemani 5 orang rekan seangkatan saya dan 1 orang guru olah raga yang saat itu sebagai pembina Pencinta Alam ( bapak JOKO).

V . Kamis 26 februari 1987
Perjalanan ke ke Gunung Salak saat itu  kami diantar menggunakan mobil dari sekolah dan di perjalanan kami berdiskusi dgn rekan rekan dan PAK JOKO yang ikut dalam team yang di bentuk oleh sekolah kami, apakah kita bergabung dgn team SAR yg sudah ada atau kita melakukan  pencarian sendiri.  Dari hasil diskusi team , kami memutuskan pencarian kita lakukan sendiri tanpa melapor ke team SAR, hal  Ini dengan pertimbangan  informasi kami yang kami punya dan  masih mentah ini  tidak akan didengar oleh team SAR yg sudah bekerja 3 hari lalu di desa WARUNGLOWA karena team SAR yg sudah ada merupakan  orang orang hebat  dan terlatih seperti WANADRI ,MAPALA UI  bahkan BASARNAS dan anggota tentara  anak buah orang tua AHMAD RUDIAT.
Pencarian kami awali dari desa SUKAMANTRI dengan menyusuri tali rafia yang mana pada bulan desember ( 2 bulan ) lalu saya ikat pada batang batang pohon  dan  pada ketinggian 1400 MDPL team yang kami pimpin itu  mulai menemukan titik titik terang seperti bungkus permen , puntung roko , bungkus supermi dsb. Semua ini terlihat masih baru di buang dan umurnya tidak lebih dari 1 minggu. Dan pada ketinggian itu kami awali untuk berkomunikasi dgn team SAR yg ada di desa WARUNGLOA dan menginformasikan kalau kami dari Team STM PEMBANGUNAN yang di pimpin oleh KELLY DARYONO menemukan tanda tanda kalau anggota kami  yang hilang melalui  jalur desa SUKAMANTRI. Saat itu kami diperintahkan menunggu di lokasi pada ketinggian 1400 MDPL dan team SAR menginformasikan akan menyusul, kami memutuskan membuka tenda dan bermalam di ketinggian 1400 MDPL,  sambil menunggu team SAR yg menyusul. Akan tetapi hingga  pagi hari bahkan siang hari team yg akan menyusulpun belum bertemu kami , apalagi baterai HT yg kami bawa pun akhirnya habis ( drop ) dan kami tidak  dapat lagi berkomunikasi dengan team SAR. DAN DISINILAH KAMI DINYATAKAN OLEH TEAM SAR yang ada di posko WARUNGLOA  KAMI ROMBONGAN KEDUA YANG BERJUMLAH 7 ORANG HILANG. Karena tidak ada komunikasi lagi  kami memutuskan  kembali melanjutkan pencarian  hingga pada  ketinggian 1600 MDPL.  Dan pada ketinggian itu, terdapat dimana sebelah kanan jalur kami sungai Ciapus dan sebelah kiri adalah sungai Cibadak.  Kami juga menemukan beras tercecer pada permukaan tanah yang sedikit landai, serta ada bekas sisa pembakaran kayu dan tempat bermalam, kami semakin yakin bahwa AHMAD RUDIAT CS sempat bermalam di ketinggian ini, dan di dekat bakaran kayu tepatnya di  bibir jurang sungai Ciapus ini ada bekas prosotan seperti orang terpeleset , dan kami berpikir kalau AHMAD RUDIAT CS kehabisan air dan menuruni jurang itu untuk mengambil air di aliran sungai Ciapus, dengan pemikiran itu kami memutuskan  untuk menuruni jurang dengan kedalaman  800 s/d 900 meter dengan kemiringan rata rata 70 s/d 80 derajat dan kami perkirakan dapat kami tempuh 1 s/d 2 jam perjuangan dgn merayap.  Ternyata perkiraan kami meleset jauh karena teramat sulitnya medan jurang itu untuk di turuni,  bahkan sampai pukul +- 19 .00 dan hari sudah gelap, kami belum juga sampai di tepi sungai Ciapus .  Kami pun  memutuskan  bermalam di tebing itu dgn cara badan kami diikat degan tali yang sudah kami bawa,  kemudian kami ikatkan ke batang batang pohon tumbang yg ada di sekitar kami agar tubuh kami tidak  merosot saat tertidur pulas, malam itu team yang kami pimpin tidur dgn posisi duduk dan beratap langit karena tidak mungkin kami dapat mendirikan tenda, tidur saja dengan posisi duduk.
Singkat cerita, pagi hari kami melanjutkan menuruni jurang ini sampai ke tepi sungai ciapus dan baru tiba pada  siang hari, ternyata prosotan yg kami telusuri pada jurang ini terdapat BABI HUTAN mati karena terpeleset  dan jatuh dari ketinggian 1600 MDPL . Kemudian kami menelusuri tepian sungai dan akhirnya ketemu penduduk asli gunung salak yang kemudian kami di bawa ke posko di desa WARUNGLOA.  Disinilah kami berdiskusi dgn orang orang hebat yg memiliki keahlian tentang  alam dan hutan , dari hasil diskusi esok harinya POSKO TEAM SAR DI PINDAH KE DESA SUKAMANTRI .  Dan kami  KELLY DARYONO  dgn di temani KANG BONGKENG BESERTA kurang lebih 50  personil sukarelawan pencinta alam dari berbagai perguruan tinggi di JABODETABEK menelusuri jalur yg kemarin baru saja saya telusuri bersama rekan rekan dan 1 orang guru dari team STM PEMBANGUNAN , hingga ketinggian 1600 MDPL  dan mendirikan  POSKO BAYANGAN  di ketinggian ini selanjudnya  pencarian di lanjutkan pada ketinggian 1800 MDPL dan pada ketinggian ini kami dan team SAR berkonsentarasi ke arah kiri jalur kami dan dari ketinggian ini suara azan  dari masjid  perkampungan bawah terdengar jelas dan lampu lampu penerangan rumah pun terlihat jelas sehingga   terkesan dekat dengan perkampungan penduduk . pada ketinggian ini pula team membentuk barisan sisir agar lebih teliti dan akurat dalam menyisir lokasi , dan ternyata benar terdapat prosotan yg mengarah sungai  CIBADAK yg akhirnya di temukan 4 jenasah  anggota Pencinta ALAM TEPEPA ( TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM ) yang jaraknya tidak berjauhan , 3 jenasah di temukan pada hari ke 28  dan 1 jenasah pada hari ke 29  sejak keberangkatan pendakian AHMAD RUDIA cs.

VI  Pencarian 2 anggota  TEPEPA
Setelah evakuasi  ke 4 jenazah anggota TEPEPA  yang dilakukan oleh sekarelawan PA dan dibantu  penduduk setempat melakukan evakuasi, serta membawa  ke 4 jenazah ke RS PMI BOGOR untuk dilakukan  otopsi  dilanjutkan pemakaman  seperti di jelaskan oleh penulis  ( TPU penggilingan rawamangun ) , maka pencarian dilanjutkan dgn mendaki punggungan dan menuruni jurang   gunung salak dan hasilnya TEPAT pada hari ke 40 ditemukan kembali 2 jenasah rekan ( anak buah ) kami  anggota Pencinta Alam TEPEPA , di mana lokasi ditemukannya 2 jenasah yang berdekatan itu tidak jauh dari kebun nanas penduduk yang jaraknya hanya 1 s/d 1,5 jam . Selanjutnya ke 2 jenazah di perlakukan sama seperti ke 4 jenazah yg terlebih dahulu di temukan.

11 April 1987
Keenamnya meninggal sudah
Gunung Salak sepi kembali dari tim ~SAR. Sabtu pekan lalu dua terakhir, dari enam siswa STM Pembangunan yang hilang, sudah ditemukan. Dua jenazah yang ditemukan hari itu dipastikan sebagai Achmad Rudiat dan Irfan Supandi. Kedua siswa meninggal di ketinggian 1.375 meter sekitar 1 kilometer dari jenazah empat rekannya terdahulu, dipisahkan oleh dua punggungan bukit dan lembah yang terjal. Diduga, seorang siswa jatuh terpeleset di sungai, atau terempas dari punggung barat Sungai Cibadak. Rudiat dan Irvan mencoba mencari bantuan, sementara tiga rekannya menunggu. Kelaparan dan kelelahan yang sangat membuat Chaerudin, Mulyadi, dan Wisnu tak kuasa bertahan. Mereka meninggal berdekatan di pinggir sungai berbatu yang lebarnya tak sampai 5 meter. Adit dan Irvan, mestinya sudah berhasil mendaki tebing 150 meter, dan tiba kembali di punggung barat Cibadak. Mereka menyisir punggung itu ke arah Loji di timur. Suara radio penduduk pun, dari ketinggian di situ, terdengar. Tapi, makin ke timur, mereka mendapati medan yang makin curam. Tentunya, mereka lalu bergerak ke barat. Celakanya, justru tebing-tebing di barat lebih curam. "Kalau mereka jalan ke selatan sekitar 100 meter lagi, pasti akan ketemu jalan setapak ke Loji," tutur Herry Macan dari Wanadri, kepada Didi Sunardi dari TEMPO. Rasa putus asa dan kelelahan yang sangat membuat kedua siswa menyerah. Kerangka jenazah keduanya bukan ditemukan oleh SAR, tapi tim PHPA Taman Nasional Cibodas, yang sebelumnya tak pernah ikut mencari. Achmad Suyani, pimpinan rombongan PHPA itu, memang dikenal sebagai "orang pandai". Menurut sumber TEMPO, dia juga dulu yang menemukan jenazah Robby di Gunung Gede Pangrango. Waktu itu Achmad naik gunung setelah tim SAR mulai putus asa. Seperti juga kini, Achmad hanya butuh waktu sehari untuk menemukan korban. Daerah ditemukannya korban sebenarnya adalah daerah jelajah tim SAR. Agaknya, justru banyaknya yang ikut mencari, sementara kemampuan berbagai kelompok pecinta alam yang sukarela menyumbang tenaga itu beragam, menyebabkan daerah sapuan ada bolongnya. Rafiq Pontoh, Koordinator SAR, tak sia-sia meninggalkan pekerjaannya hampir dua bulan. Gunung Salak sepi kembali.

SARAN DAN PESAN SERTA PELAJARAN YANG DAPAT,DI AMBIL DARI PERISTIWA TRAGEDI GUNUNG SALAK  1987 :
1.  Jangan  pernah merasa kalau kita akan dapat menaklukan gunung dan alam yang akan kita daki/ jelajahi , karena dgn adanya perasaan itu kita akan memaksakan diri untuk mencapainya walaupun fisik dan kemampuan sudah menurun dan tidak mendukung lagi.   Nikmati keindahan dan hasil alam ini,  karena saya yakin kalau alam yg di ciptakan oleh YANG MAHA KUASA ini di ciptakan bukan untuk di taklukan tapi untuk di nikmati keindahannya dan hasilnya.

2 . Kami menghimbau kepada semua pendaki jangan pernah menghitung beban berat yang ada di pundak kita karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi 1 detik pun  di depan kita. Artinya bawalah perbekalan, ( air,makanan )  peralatan  standard yang dibutuhkan  untuk mendukung hidup kita selama pendakian berjalan dan bawalah  stok makanan berlebih untuk 2/3 hari kedepan melebihi jadwal pendakian,   walaupun beban itu akan semakin berat.

3 .Pelajari dan cari informasi terakhir  tentang karakter gunung alam yang akan kita jelajahi sebanyak banyaknya sebagai bekal kita sebelum expesisi pendakian kita lakukan.

4. Bekali diri kita dgn ilmu ilmu pendakian gunung atau jelajah alam seperti survival hidup di alam bebas, membaca kompas , cara mengatasi dan menghindari penyakit  ketinggian DLL.

5 . Jika memungkinkan lengkapi pendakian dgn peta terakhir gunung yang akan kita daki . Dan jangan pernah mencoba buka atau keluar dari jalur setapak yang sudah ada, jika kita tidak menguasai  / membaca peta gunung yang kita daki . Dan tinggalkan tanda tanda atau tali  yang warnanya mencolok jika kita ragu dgn jalur / jalan  yang kita telusuri.

6. Jika kita sudah kehilangan arah , kita perlu berdiam sejenak sambil beristirahat , tenangkan diri kita dan coba ingat kembali terakhir kita keluar dari jalur yang benar, dan jangan sungkan untuk kembali ke jalur awal walaupun jarak yang kita tempuh sudah cukup jauh.

TERIMAKASIH KEPADA SEMUA SUKARELAWAN PENCINTA ALAM  BAIK YANG TERGABUNG DALAM ORGANISASI MAUPUN PERORANGAN YANG  TELAH TURUT SERTA BERPARTISIPASI  DALAM PENCARIAN ANGGOTA  TEPEPA DIMANA BEGITU BANYAK PENGORBANAN BAIK MATERIAL MAUPUN TENAGA  HINGGA PROSES PENCARIAN  BERJALAN SELAMA 42 HARI .

BOGOR, 9 MEI 2015
KELLY DARYONO  ( 085810221122 )

Monday, June 8, 2015

Kisah Survival Harjo dan Pung di Semeru Tahun 1969

SAYA JATUH DI LERENG GUNUNG SEMERU

Intisari No.83 Juni 1970

Bulan Agustus tahun yang lalu beberapa minggu sebelum berita tentang meninggalnya Soe Hok Gie anda mungkin membaca tentang jatuhnya seorang pendaki lain di Gunung Semeru, saudara Hario Suseno. Dibawah ini ia akan menceritakan pengalamannya waktu itu.
____________________________________________________________________

Kami hanya berangkat berdua, saya sendiri dan seorang teman di club pendaki kami MERMOUNC (Merbabu Mountainner Club). Tujuannya adalah un­tuk membuktikan pada teman-teman lain bahwa kita sebagai pemuda pendaki sudah selayaknya dapat menggunakan peralatan seperti kompas, peta, menentukan tinda­kan dan mengambil konsekwensi serta tanggung jawab dalam se­buah rencana pendakian. Bukan hanya menyerahkan perjalanan kepada seorang penunjuk jalan atau lain-lain dimana biasanya sebuah team kemudian tinggal mengikuti saja ‘jalan raya’ yang sudah ada.
Saya berangkat dari Jogya tanggal 25/7-69 bersama seorang ka­wan: Pung.Sebagaimana dengan pendaki­an-pendakian yang lain, kami membawa perlengkapan perkemahan, alat memasak, alat dokumentasi seperlunya, peta, kompas, teropong, pisau, perlengkapan PPPK dan perlengkapan mountaineering se­adanya. Saya katakan seadanya disini karena kami hanya dapat membawa apa yang kami punyai yang sesungguhnya jauh daripada lengkap. Sepatu yang saya pakai hanya sepatu dengan sol karet beralur yang seharusnya hanya me­rupakan sepatu kerja pada lan­tai kasar atau tanah biasa.
Perjalanan secara singkat adalah sebagai berikut:
Tanggal 25/7-’69. Rencana pokok pendakian, peralatan. Jam 23.00 sampai di Surabaya dengan kereta api dari Jogya. De­ngan taksi kita tiba di Malang jam 01.00.
Tanggal 26/7-‘69. Disini kami menanyakan kepada orang-orang yang kami anggap datang dari desa tentang jalan-jalan ke Semeru menurut pengetahuan me­reka. Beberapa orang memberikan keterangan, menyarankan be­berapa desa sebagai pangkalan pendakian. Tak ada yang sesuai dengan rencana kami. Kami te­tapkan akan melalui daerah Selatan: Turen. Ternyata keadaan sangat me­rugikan perjalanan kami kalau melintas dari Turen ke Semeru. Kami menggeser ke-Timur, ke Dampit. Masih mengarah ke daerah lintasan lava dan kawah Semeru. Geser ke Timur lagi Kalibening. Kami melapor ke­ kecamatan dan Koramil. Men­dapat penjelasan, lava mengarah ke Selatan ini juga, sedangkan kami tepat di Selatan dari puncak Semeru. Waktu ini hari Sabtu jam 07.30 pagi.
Malam ini menginap di desa Rawabawang yang terletak di Utara Kalibening untuk melihat situasi turunnya lava pada malam hari. Kesimpulan: lava turun mengarah Barat Daya sampai ke Se­latan, menyebar dan melintas sampai ke batas hutan. Kecepatan la­va turun sangat mengagumkan.
Tanggal 27/7-’69 Minggu.Saya Sempat ke gereja di Kali­bening, sebagian penduduk ber­agama Kristen. Dari percakapan-percakapan dengan orang-orang kami mendapat keterangan yang cukup tentang route yang akan kami tempuh.
Keputusan: menggeser sampai ke Tenggara baru akan mendaki. Siang mulai berjalan menuju desa Kamar A di Tenggara Se­meru. Beban pertama dengan ba­han makanan untuk 10 hari, Se­berat masing-masing 25 Kg (diluar berat air). Sering istirahat. Pukul 06.00 mencapai desa Kamar A – Kebon Tawang. Pukul sembilan malam mendirikan kemah istirahat.
Tanggal 28/7-’69, SeninMengisi air masing-masing 7 liter, mulai mendaki. Jam 11.00 sampai pada batas perkebunan-hutan, memasak nasi pada sebuah keluarga kecil, dengan hanya dua buah pondok kecil di tepi hutan itu. Sangat terpencil. Kepala keluarganya bernama pak Djaet. Bagaimana hubungan masyarakat kecil ini dengan dokter, pasar, dll. kami hanya menarik nafas panjang sa­ja.
Pukul 14.00 siang kami mulai menembus hutan. Mulai menggunakan kompas dan memakai naluri penembusan hutan, daerah yang belum pernah dibuat jalan tembusan sebelumnya. Semak-semak cukup lebat. Pohon2 setinggi 10-12 meter. Pukul 16.30 berhenti berjalan – kami telah menempuh ± 800 M dengan sedikit-sedikit menggeser ke Timur, kami dirikan tenda, memasak dsb., istirahat.
Tanggal 29/7-’69, SelasaPukul 08.00 mulai berjalan. Semangat penuh, kondisi baik. Menembus hutan yang mulai makin melebat. Pohon-pohon lurus tinggi dan daun mengembang diatas. Cahaya matahari sangat sedikit, semak melebat. Berjalan sampai pukul 16.00 sore, mendirikan tenda. Udara sangat lembab.
Tanggal 30/7-’69, Rabu Pukul 08.00 mulai lagi. Keada­an yang sama, menemukan sungai batu dengan pasir-pasir berair. Mengisi kembali persediaan air minum. Berkemah di hutan lagi. Keadaan menyenangkan. Banyak kayu ke­ring. Pohon-pohon kira-kira 20 meter tingginya.
Tanggal 31/7-’69, KamisBerangkat seperti biasa. Semak semakin lebat. Kami terus me­ngarah ke sisi lereng Timur un­tuk menemukan lintasan pasir da­ri puncak. Kali ini sangat payah. Satu jam hanya kira-kira 30/50 meter saja. Benar-benar merintis jalan de­ngan membelah semak-semak yang sangat rapat dan berjalin-jalin setinggi kira-kira dua meter.
Pohon-pohon mulai pendek, kira-kira tiga sampai lima meter, cahaya masuk seperti biasa. Tempat yang sudah kami buka (semak) untuk jalan, langsung menjadi terang. Kurang lebih pukul 16.00 me­nemukan celah sempit berbatu yang agak bebas dari semak. Kami mengikuti celah itu, keatas de­ngan cepat, lalu memotong ke kanan. Kira-kira pukul 16.30 mencapai batas hutan dan pasir. Istirahat sambil mempersiapkan makan dan pakaian dingin. Sekitar pukul 20.00 malam bulan muncul. Medan pasir jelas terlihat, kemiringan antara 30 s/d 40 dera­jat. Mencapai lereng dengan bongkah besar, bermalam tanpa tenda. (melihat ke Utara, menyeberang lereng kira-kira 200 meter) buka.
Tanggal 1/8-’69, Jum’atMenyeberang lintasan pasir dan hujan batu selama kira-kira lima jam dan berhasil mencapai lereng Timur (batu-batu lebih stabil) dengan selamat meskipun sangat payah. Istirahat satu jam lalu meneruskan perjalanan langsung mengarah puncak. Kami tepat dari arah 90 derajat Timur. Pukul 16.30 berhenti, udara sangat dingin, empat derajat C. Kami tidur dalam beberapa lapis pakaian di celah-celah batu besar yang ka­mi temukan. Tidak bisa mendiri­kan tenda. Ketinggian sekitar 3000 meter.
Tanggal 2/8-69. Sabtu: Mencapai puncak.Kita mencapai puncak (+ 3676 m) Pukul 12.00 siang. Pukul 14.00 siang mulai turun ke Utara. Tidur di hutan. Rumput2 tinggi, pohon-pohon pinus mercusy rendah dan jarang, air habis.
Tanggal 3/8-’69. Minggu.Meneruskan menembus hutan belukar kebawah (Utara) sampai di lembah yang sempit. Mulut dan kerongkongan kering sekali. Pu­kul 15.00 menyusur pangkal su­ngai Aran-aran, kami langsung membelok ke Barat (270 meter), menyusur lembah sungai Aran-aran yang masih berdasar pasir kering. Ketinggian sekitar +2350 M. Pukul 16.00 menemukan lapisan lumut di sebuah tebing batu yang poreus, kami dapat menapis air disini. Malam berjalan terus selama jalan dapat dilalui. Sungai mulai berair (kami temui pukul 21.00 malam). Pukul 22.00 malam menuruni air terjun pertama (kecil sekali) dinding batu tegak setinggi 6 meter. Bermalam di­ tepi sungai.
Tanggal 4/8-’69, SeninMelewati beberapa air terjun dengan ketinggian sekitar 5 s/d 15 m. Kami gunakan tali-tali dimana perlu. Tidur malam nyenyak sekali karena sudah sangat lelah.
Tanggal 5/8-’69, Selasa: Hari jatuh. Sampai pada sebuah air terjun dengan dinding yang miring tajam dan dibawah tegak lurus.Tali kami yang 26 meter panjangnya tidak dapat mencapai dasar air terjun. Kami putuskan untuk merangkak pada dinding curam tersebut, menuju tempat yang lebih baik untuk turun. Saya didepan. Pada saat merambat terpeleset ada longsoran kecil dan lepas kebawah, setelah melewati ba­tas miring lalu jatuh bebas, ki­ra-kira 15 meter, dan pingsan. Pung un­tunglah selamat, memberikan pertolongan seperlunya. Tulang paha kanan patah hancur, untung tidak ada luka luar. Tenda didirikan di tepi sungai.
Tanggal 6/8-’69, RabuPung berangkat untuk mencari pertolongan, saya ditinggalkan di tempat dalam keadaan pusing sekali, tidak bisa bergerak bebas karena tulang patah hancur pa­da paha kanan terkena batang cemara tumbang sewaktu jatuh. Bahan makanan tinggal untuk satu hari ditinggalkan seluruhnya dengan pesan supaya diulur (di­perpanjang, dihemat) sampai paling tidak tiga hari. Pung sendiri tidak membawa makanan, hanya perlengkapan darurat, peta/kompas, tali-tali. Saya sendiri te­rus tidur nyenyak sampai pagi.
Tanggal 7/8-’69, KamisBangun, melihat serba dua, pusing, tidur lagi.
Tanggal 7/8-’69. Jum’atMakan pertama sesudah 2 hari tidak makan/minum. Sepertiga dari ransum ditambah air mentah sekenyangnya.
Tanggal 9/8-’69, SabtuMakan kedua, lagi minum air sungai sekenyangnya.
Tanggal l0/8-’69. MingguMakan sisa makanan, mata su­dah normal, tapi masih pusing, banyak tidur.
Tanggal 11/8-’69, SeninMerebus daun2 yang bisa di­makan yang dapat dicapai de­ngan tangan dan tongkat.
Tanggal l2/8-’69, SelasaHanya minum air, dengan perhitungan penghematan daun-daunan yang bisa dimakan.
Tanggal 13/8-’69, RaboMasak daun-daunan tanpa garam atau bumbu-bumbu lain. Semua sudah normal. Mata melihat terang, tidak pening, berpikir normal.
Tanggal 14/8-’69, KamisSudah lewat waktu yang Pung tentukan sendiri. Menghemat daun-daunnan lagi. Mulai ragu-ragu apa­kah Pung berhasil atau dia sen­diri mengalami kecelakaan.
Tanggal 15/8-’69, Jum’at : Diketemukan kembali,Merasa sangat gelisah, akhirnya memutuskan untuk mencoba bergerak sendiri. Ini hari ke 10 saya ditinggalkan di air terjun tsb. Tapi ternyata setelah semua siap, kaki sangat sakit untuk digerakkan. Hanya bisa menggeser beberapa meter dari tenda. Kembali lagi, menggagalkan rencana semula dan tetap menanti di­ tenda.
Sore pukul 17.30 ada tiga orang membuka tenda, lalu muncul lagi enam orang temasuk rekan saya sendiri: Pung. Tambah lagi satu orang anggota Kopasgat dan seorang anggota Polisi Kehutanan. Bisa dibayangkan bagaimana pe­rasaan saya sehabis sembilan hari ke­laparan dan sendirian.
Tanggal 16/8-69, Sabtu: Bergerak pulangKaki yang patah dijepit de­ngan papan kayu cemara yang dibuat secara darurat, dibalut dengan kain-kain, paling luar kain tenda, lalu dipikul dengan batang kayu cemara pula. Setiap air terjun diturunkan dengan tali-tali. Agak ngeri juga. terlebih saya kini dalam keadaan tak dapat bergerak sama sekali. Malam belum bisa mencapai desa. Masih sepertiga perjalanan kare­na beratnya medan. Besok direncanakan menyelesaikan seluruhnya. Saya dan Pung dan enam orang menginap di sebuah dataran air terjun yang indah, kiri kanan te­bing ditumbuhi pohon-pohon dengan semak-semak semacam anggrek tanah. Kopasgat, Polisi Kehutanan dan yang lain mendahului untuk memberi berita yang tertinggal menunggu di desa Magersari.
Tanggal 17/8-’69, Minggu: Kembali keperadabanPagi-pagi sekitar pukul sepuluh datang dua orang dari kesehatan Kopasgat. Kemudian berangkat lagi. Kali ini banyak yang menolong. Beberapa orang lagi dan Pasgat yang dikirim kelihatan. Mencapai Magersari sore, diteruskan ke Pandansari. Ditempat yang mungkin untuk kendaraan, dijemput sebuah ambulans dan terus ke rumah sakit (masuk Malang jam 11.30 malam).
Ini adalah pendakian yang paling panjang yang pernah kami lakukan. Saya sendiri semula memperkirakan keseluruhan perja­lanan hanya memakan tujuh hari, ter­nyata untuk mencapai puncak adalah hari kesembilan. Dan dari tanggal 25/7 sampai dengan tanggal 17/8-’69 adalah 24 hari.
Peta lokasi jatuh sketsa asli yang dibuat oleh Alm. Hario Soeseno


NYARIS TERCEKIK GUNUNG SEMERU

KISAH TRI PURWANTO (PUNG) MENCARI BANTUAN
Majalah Intisari No. 87, Oktober 1970.
Pengalaman kami berdua di Gunung Semeru yang lalu, benar2 menjadi kenang2an yang tak dapat kami lupakan. Kisahnya sebagian sudah ditulis Harjo Suseno dalam Intisari Juni yang lalu. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan kami sendirian turun kepedalaman minta pertolongan. Pengalaman itu saya sajikan menurut catatan buku harian sendiri sebagai berikut-
Oleh : Tri Purwanto (Pung)
Selasa, 5-8-1969. Harjo jatuh.
Pagi-pagi, kira2 pk. 07.00 kami (masih berdua) sudah berhasil menuruni jurang air terjun yang cukup dalam dan seram. Peralanan tetap menurut rencana semula yaitu menyusur Sungai Aran-aran. Perbekalan untuk makan sudah limit. Sampai siang kami tidak makan, kami masih harus berhemat.  Lebih kurang pk. 14.00 Harjo jatuh terpeleset. Saya jadi bingung tidak keruan. Tak terduga samasekali. Saya ber-teriak2 memanggil Hatjo, namun sia-sia. Saya coba turun dengan tali. Setengah jam lebih baru berhasil. Ternyata Harjo masih hidup. Dia tidak sadar karena hentakan yang begitu mendadak. PPPK seperlunya saya berikan. Tulang paha kanan Harjo patah. Untung tidak mencuat keluar. Segera saya membuatkan tenda darurat, mencari kayu untuk persediaan malam, mengatur barang-2 perlengkapan dan lain-lain.  Harjo sering merintih kesakitan, namun belum ingat apa yang telah terjadi.  Cuaca malam amat dingin. Saya membuat api unggun.
Malam itu saya putuskan bahwa saya harus keluar dari jurang itu dan pergi minta bantuan.  Memang benar tak mungkin lama-lama tinggal disitu apalagi makanan habis. Saya berjanji dengan Harjo bahwa 2 atau 3 hari lagi akan segera datang. Harjo tak dapat tidur rupanya karena menahan sakit.

Rabu, 6-8-1969, Pung pergi.
Pukul 07.30 saya pergi meninggalkan Haro. Perlengkapan kami hanya yang perlu-perlu saja.  Peta dan kompas tidak lupa.  Bekal makanan semua saya tinggalkan untuk Harjo.  Senjata api tak ada sama sekali namun saya tetap percaya.
Tindakan saya benar-benar perbuatan nekad.
Saya tetap berjalan seperti rencana semula yakni menyusur sungai.  Ayunan langkah pertama benar-2 berat sekali.  Baru saja berjalan 5 menit sudah harus turun jurang air terjun.
Sampai pukul 16.00 hari itu, saya berhasil turun air terun sebanyak 4 buah. Dan tak saya duga bahwa ini mungkin.  Semuanya rupanya hanyalah karena terpaksa.  Malam itu saya tidur didekat air sungai.  Terasa seperti anak yang hilang saja.
Sudah sampai malam rasanya belum juga terasa lapar  hanya pikiran saya yang masih kacau.

Kamis, 7-8-1969. Sama-sama berjuang.
Udara pagi masih dingin. Suasana baru. Saya mencoba naik tebing. Jemu rasanya bergumul dengan air dan jurang-jurang air terjun.
Tambahan lagi ngeri.  Tetap kupaksa kucoba……  Naik….  Naik……..Terkurung.
Persediaan air habis. Terpaksa turun lagi.
Hari itu saya hanya berhasil menuruni jurang air terjun 3 buah saja.  Saya sudah lelah benar.  Medan setempat masih sama.  Seperti kemarin-2 masih bersemak-semak lebat, gelap terang berselang-seling, tebing-2 labil mudah longsor, aliran sungai yang berkelok-kelok menyusup-nyusup tebing-tebing dan lain sebagainya.  Malam itu saya tidur diatas tebing batu, tempat yang lebih aman dari gangguan-gangguan binatang buas.

Jum’at, 8-8-1969. Pantang putus asa.
Lebih kurang pk. 03.00 saya mulai bergerak lagi.
Dengan sisa tenaga yang masih ada saya tetap mencoba bertahan,  Terus maju, pantang mundur.  Dalam perjalanan sering tercium bau-bauan yang amat spesifik; sehingga sering membuat bulu roma berdiri. Ngeri rasanya.  Pada masa-masa kritis saya hanya dapat berdoa saja.  Pukul empat sore seperti biasanya, saya berhenti.  Saya tidur di-sela-2 batu besar di dekat air.

Sabtu, 9-8-1969.  Makan batang nipah & umbi gatal.
Sudah beberapa hari tidak makan.
Tubuh semakin lemas; sehingga saya harus lebih berhati-hati apalagi bila turun jurang.  Sambil jalan kumakan jenis daun-2an yang masih muda. Kira-kira tidak membahayakan langsung dimakan tanpa rebus segala.
Sambil menengok kakanan dan kekiri, mata saya tertarik akan pohon nipah (?) ( seperti pohon jambe begitulah).  Kemudian saya tebang dan kami makan batangnya.  Aiiii ………Benar juga ……. Manis………..manisnya seperti tebu.  Makan sepuas-puasnya hingga kenyang.  Yah walaupun air saja, namun manis karena kadar glukosenya tinggi. Terasa badan lebih kuat lagi.  Jalan lagi.  Untuk persediaan makanan nanti saya cari umbi-umbian. Satu demi satu dikumpulkan.  Perjalanan masih harus melewati banyak rintangan lagi.  Sehari itu saya menemui tiga buah air terjun.  Kira-kira pukul 11.00 umbi-umbian saya rebus. Merebus sambil istirahat agak panjang. Pikiran, pasti enak dimakan.   Kumakan baru dua-tiga gerakan gigi saja…. Aduuuuuh kecewanya bukan main… semua bagian mulut serta kerongkongan gatal bukan main.  Segera cepat-cepat berkumur dan minum banyak-banyak.  Dengan agak berlari saya lanjutkan lagi perjalanan menyusur.
Ganti haluan naik tebing, akhirnya berhasil sampai punggungnya, dan disitu pula saya bermalam.

Minggu, 10-8-1969. Sampai dikampung.
Kira-kira pukul 07.00 saya bergerak lagi.
Kali ini sudah mulai menyusur ‘punggung ‘.  Peta dan kompas serta teropong benar-benar membantu perjalanan saya.  Perjalanan masih harus menembus hutan-hutan, semak-semak belukar, naik-turun menyeberang jurang dan sebagainya, namun sudah tidak seperti hari-hari yang lalu. Siang itu amat panas.  Air habis. Selalu haus rasanya.  Kini jauh dengan sungai.  Tempat- tempat lembab menjadi sasaran saya pula, walaupun hanya tetes-tetesan air saja.  Jalan tengok kekanan kekiri tampak samar-samar ada suatu perkampungan.  Tidak padat penduduknya rupanya.  Sambil jalan saya pungut daun-daun muda sebagai pengisi perut.
Akhirnya sampai juga ke suatu kampung yang menurut perkiraan sesuai dengan peta adalah desa Jajang.  Sampai dimuka pintu sebuah rumah, saya jatuh pingsan.  Saya ditolong orang kampung.  Tenyata kampung kecil itu desa Magersari termasuk wilayah Jajang.   Saya menceritakan keadaan kami.  Mereka terkejut setelah mendengar bahwa kami hanya berdua saja dan kini Harjo berada di jurang. Suasana di kampung itu benar-benar tampak prihatin sekali akan keadaan kami berdua.  Malam itu saya selalu gelisah dan tak dapat tidur.

Senin, 11-8-1969. ‘Pasukan’ disiapkan.
Paginya saya diantar ke Bapak Martini ( Kamitua desa Jajang ). Dan siang itu telah disiapkan suatu pasukan (penduduk setempat) untuk menolong kami berdua.  Kira-kira 20 orang termasuk saya segera berangkat ke tempat Harjo berada.  Perjalanan kami lancar sekali.
Badan saya masih lemah namun saya kuat-kuatkan.  Kira-kira pukul 17.00 di dalam pasukan itu timbul suatu masalah ; yaitu soal bekal makanan yang tidak kami siapkan.  Setelah matang dibicarakan maka terpaksa perjalanan tidak diteruskan, kami mundur pulang.  Kami langsung menuju ke Kamitua-nya minta bekal makanan.  Sayang tidak ada.  Semua diam sejenak.
Pada pikiran saya, ada rencana minta bantuan AURI di Surabaya. Namun demikian saya masih mengharapkan pertolongan orang-orang kampung.  Mereka tetap niatnya akan membantu kami sampai Harjo ketemu.  Mereka menyarankan pula agar saya tidak jauh-jauh ke Surabaya tetapi lebih baik ke Malang saja ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.
Kami sangat berterima kasih kepada mereka.
Mereka akan berusaha sekuatnya pula menuju ketempat Harjo berada dengan mengikuti jejak-jejak yang telah saya buat selama berjalan hari-hari yang lalu.
Malam itu saya tidur di Jajang.

Selasa, 12-8-1969. Ke Pangkalan Lanuma Abd. Saleh.
Pagi harinya, saya ke Wates dengan diantar oleh salah seorang kampung. Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki.  Tiba di Wates kira-kira pukul 10.00.
Perjalanan diteruskan lagi dengan naik dokar ke Tumpang dahulu.  Tiba di Tumpang kira-kira pukul 11.00. Kemdian dengan sebuah taxi saya menuju ke  Pangkalan.
Kami langsung menghadap Bapak Kolonel E. Soemarto ( beserta staf ).
Saat itu pukul 12.30.
Laporan saya mendapat perhatian besar sekali.  Dan siang itu juga dikirim satu regu KOPASGAT  ke Poncokusumo dan terus ke Magersari.
Dilakukan pula peninjauan dari atas dengan pesawat udara.
Untuk sementara saya harus tinggal dahulu di-Pangkalan.  Kami tidur di Mess AURI.
Malam itu saya tidak dapat tidur.
Pikiran masih terkenang kepada Harjo saja.

Rabu, 13-8-1969. Di Pangkalan.
Pukul 08.00 saya kakantor Pangkalan untuk di interview.
Hampir semua orang di Pangkalan  mengetahui usaha-usaha AURI dalam hal ini.
Mereka sangat prihatin juga tampaknya.
Pukul 10.30 saya bersama Bapak Kapten Roesmali naik pesawat Harvard (?) untuk meninjau di mana kira-kira tempat Harjo berada.
Ternyata masih terlalu jauh dan pesawat rupanya sudah terlalu maximum naiknya serta kabut sudah mulai menyerang.  Sehingga terpaksa kami turun kembali. Tetapi yang terang bagi sang pilot sudah mengetahui desa Magersari yang kelak menjadi suatu pos yang dapat untuk apa-apa misalnya untuk tempat dropping dalam usahanya untuk menolong kami berdua.
Kian lama kian gelisah sebab sampai sore hari belum ada kabar dari Regu KOPASGAT yang dikirim siang kemarin.

Kamis, 14-8-1969. Kembali ke Magersari.
Pagi saya bersiap-siap akan ke Magersari lagi.  Saya dikirim kesana bersama bahan-2 makanan.
Pukul 14.00 saya ke Malang dulu perlu belanja.
Dengan kendaraan jeep saya terus menuju ke desa Poncokusumo.
Kami terus diantar ( jalan kaki ) ke desa Pandansari.
Saya disambut dengan rasa terharu oleh orang kampung setempat, lebih-lebih Bapak Lurah.  Malam itu pula kami diantar ke Magersari. Tiba disana kira-kira pukul 22.00 ( pukul 10 malam ).
Kedatangan saya disambut oleh Regu KOPASGAT yang dipimpin Bapak Sujono.
Malam itu kami semua membuat rencana keberangkatan untuk esok hari menuju ke tempat Harjo berada.
Saya sendiri tak dapat tidur nyenyak akibat pikiran yang masih kacau.

Jum’at, 15-8-1969. Ke tempat Harjo.
Pukul 07.00 satu regu baru yang terdiri atas sembilan orang-orang kampung, satu anggota KOPASGAT ( Bp. Kamarudin ) dan saya sendiri bergerak menuju tujuan.
Perjalanan dilakukan melalui punggungan bukit dan tidak melalui lembah sungai.
Lancar sekali perjalanan kami. Menembus hutan, semak-semak dan membuat jalan di- gunung, orang-orang kampung sudah terlatih benar.
Naik turun jurang, memanjat pohon dulu bila perlu maju terus pantang mundur.
Akhirnya kami sampai ke empat Harjo berada.
Saat itu lebih kurang pukul 18.00  Harjo masih dapat bertahan.
Pertemuan kami berdua sungguh berkesan sekali.  Kami gembira sekali.  Malam itu kami semua beramai-ramai bersuka-ria sambil berapi unggun.
Sementara itu 2 orang pulang memberi kabar ke pos Magersari serta minta bantuan lagi.

Sabtu, 16-8-1969. Turun ke Magersari.
Pagi-pagi kami semua bekerja. Membuat dragbar pengangkut Harjo, menyiapkan jalan untuk lewat dan lain-ain.  Pukul 03.30 kami siap berangkat.
Perjalanan kami amat pelan, sebab harus lebih berhati-hati. Jalan kadang-kadang sulit dilalui.  Sore lebih kurang pukul 17.30, kami istirahat di tepi sungai. Membuat api unggun sekedar penghangat tubuh.
Malam itu sangat dingin.
Sampai malam belum juga ada bantuan datang.

Minggu, 17-8-1969.
Pukul 07.30 datang rombongan baru. Mereka membawa makanan untuk kami. Harjo mendapat perawatan, yang lebih sempurna.
Pukul 09.00 kami bergerak lagi. Saya sendiri jadi pasien juga akhirnya.
Lebih kurang pukul 15.00 sampai disuatu Pos dan istirahat. Saya disambut oleh Pak De yang datang dari Jakarta. Perjalanan diteruskan lagi.
Akhirnya kami sampai di Magersari dan disambut oleh Bp. Sujono Komandan Regu KOPASGAT beserta seluruh penduduk setempat dengan rasa terharu.  Saat itu pk. 18.00.
Tepat tanggal 17-8-1969 kecuali hari peringatan Proklamasi juga tanggal tepat kami berdua ‘hidup lagi’ setelah berhari-hari kami terkurung dalam tubuh Gunung Semeru.
Kami serombongan terus ke Pandansari. Sepanjang jalan penuh sesak orang akan melihat kami.      Kami istirahat ditempat Bp. Lurah.
Pukul 23.00 kami segera ke Poncokusumo dengan mobil-mobil AURI. Kami bertemu juga dengan Bapak Brigjen Sunitioso ( ayah Harjo ) yang memang menjemput kami.
Mobil langsung ke Pangkalan. Tiba disana pukul 00.30 ( malam hari ).
Rontgen Harjo jelas menunjukkan patah tulang pada paha kanannya.
Tak diduga, Tatok seorang rekan anggota MERMOUNC ada disitu juga. Kami hanya saling senyum-senyum saja.
Selanjutnya Harjo dibawa ke RST Malang hingga selesai opnamenya.
Kami tinggal di Malang beberapa hari untuk membereskan perlengkapan kami yang telah kocar-kacir dalam perjalanan pulang itu.
Begitulah pengalaman saya sejak meninggalkan Harjo seorang diri sampai ketemu kembali dengan selamat.
Saat-saat kritis senantiasa mengintai kami waktu itu, namun dengan iman serta semboyan‘TAN LALANA’ lah semua selesai dengan sendirinya.
Mermounc           = Merbabu Mountaineer Club
Sebuah Club Mendaki Gunung yang bermarkas di Jogjakarta
TAN LALANA       =  Pantang putus asa.
Semboyan Club Mendaki Gunung Mermounc

Catatan :   Harjo Suseno    >  dipanggil Haryo.
Alamat Harjo waktu itu  :  Jln. Supadi 7  Jogyakarta.
Alamat di Jakarta  Komp. Kodam V /Jaya    Jln. Bazoka 1 Sunter Sumur batu.
Sumber: survivalskillsindonesia.wordpress.com